Tuesday, November 26, 2013

Sekilas Cerita tentang Pengalaman di Perbatasan

Ketika melihat pengumuman tentang blog competition beberapa waktu yang lalu, saya sangat tertarik untuk bergabung di dalamnya. Jujur, saya bukanlah orang yang rajin "cuap-cuap" di blog atau mengikuti kompetisi. Bahkan ruang blog saya sudah lama kali tidak dihuni, mungkin sudah banyak sarang laba-laba disana-sini. Namun, melihat temanya saya ingin sekali bisa menceritakan salah satu dari sedikit pengalaman saya ketika melakukan kegiatan sukarela di bidang kesehatan.

Satu peristiwa yang terlintas di benak saya untuk dituliskan adalah ketika saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata sekitar satu tahun yang lalu. Orang-orang pasti berpikir Kuliah Kerja Nyata merupakan mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa tingkat akhir sebagai salah satu syarat kelulusan. Namun di kampus saya berbeda. Kuliah Kerja Nyata atau dikenal dengan istilah K2N merupakan mata kuliah "sukarela" bagi mahasiswa yang ingin mengabdi di daerah-daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia. Bahkan ada seleksi dan pelatihan khusus bagi pesertanya.

Singkat cerita, akhirnya saya lolos seleksi dan ditempatkan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Di Desa Wanabakti, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang tepatnya saya akan mengabdi selama kurang lebih satu bulan. Secara (tidak) kebetulan, saya ditugaskan dalam kelompok kesehatan, mungkin karena saya mahasiswa jurusan keperawatan.

Jujur, sebagai mahasiswa semester 6, kegiatan yang kami kerjakan di desa ini bukanlah sesuatu yang besar. Kami mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan untuk berbagai kelompok usia, memotivasi mereka untuk memodifikasi lingkungan demi kesehatan mereka, mengajak mereka kerja bakti membersihkan lingkungan dari sampah, dan sebagainya. Untungnya, ilmu keperawatan yang saya terima d bangku kuliah dapat saya terapkan. Kami mengadakan pemeriksaan kesehatan dan bekerja sama dengan bidan desa membagikan obat yang kami bawa dari ibukota.

Mengajarkan cara mencuci tangan yang benar kepada adik-adik


Kerja bakti membersihkan lingkungan



Kegiatan Penyuluhan

Namun ada hal yang menarik dari kehidupan kami selama satu bulan disana. Suatu malam kami sedang rapat untuk membahas kegiatan besok di salah satu rumah warga. Sekitar pukul 21.00 WIB, seorang warga mengetuk pintu rumah dan mencari kami. Beliau mengatakan ada seseorang yang terjatuh dari motor, lokasinya tak jauh dari tempat kami berada. Mungkin beliau datang karena mendengar kami sering memeriksa kesehatan warga sekitar, sehingga beranggapan kami dapat memberikan pengobatan. Mendengar penuturan si bapak, beberapa teman saya yang pria bergegas pergi ke lokasi, sedangkan saya dan beberapa teman yang lain menunggu di rumah. Dengan berbekal kotak P3K, kami menunggu korban tersebut dibawa. Saya beranggapan lukanya paling luka-luka lecet.

Ketika korban dibawa ke teras rumah, kami terkejut. Lukanya tidak hanya lecet, tapi robek di daerah rahang, pelipis, dan kepala. Dia tidak hanya butuh betadine dan sebagainya. Lukanya butuh dijahit. Hal pertama yang kami lakukan adalah meminta warga yang sudah ramai berkumpul untuk memanggil ibu bidan sementara kami berusaha menghentikan perdarahan dengan kassa seadanya. Tak lama berselang, ibu bidanpun datang. Di teras rumah kami, dia mulai menjahit luka-luka korban. Beliau berusaha menjaga sterilitas semaksimal mungkin di teras rumah yang temaram. Sembari merawat lukanya beliau meminta warga untuk menyiapkan kendaraan untuk membawa korban ke rumah sakit, karena ternyata korban tidak dapat ditangani maksimal oleh bidan. Ada robekan di daerah rahang, katanya.

Singkat cerita akhirnya warga membawa korban ke rumah sakit pada pukul 22.00. Namun, tahukah kalian, rumah sakit tidak tersedia di desa ini. Rumah sakit terdekat hanya tersedia di kecamatan, dan untuk mencapai kecamatan harus melalui jalanan yang rusak selama kurang lebih setengah jam, kemudian menyeberangi Sungai Merakai, lalu melanjutkan perjalanan darat lagi. Bahkan keesokan harinya kami mendengar bahwa korban harus dibawa ke rumah sakit di Kabupaten Sintang yang jaraknya berjam-jam karena keterbatasan penanganan di rumah sakit di kecamatan. Sungguh ini adalah hal yang paling menyedihkan dengan kondisi korban yang harus ditangani seperti itu. Selama ini saya hanya pernah mendengar cerita-cerita tentang keterbatasan daerah terpencil, atau hanya melihat di televisi. Ketika saya mengalaminya langsung, sungguh rasanya jauh lebih sedih. Membayangkan korban yang kesakitan, harus menempuh perjalanan yang panjang dan tidak nyaman. Tapi, betapa Tuhan memberkati korban kecelakaan tersebut, beberapa hari kemudian kami mendengar kabarnya sudah semakin pulih.

Pengabdian kami di desa ini mungkin masih kurang. Namun paling tidak kehadiran kami dapat memberikan mereka harapan bahwa mereka juga bisa jadi lebih baik dan mereka juga harus berjuang memajukan daerah mereka. Memotivasi mereka untuk mau belajar tentang banyak hal, tentang kesehatan dan ilmu-ilmu lainnya yang berguna bagi mereka.

Kamipun belajar banyak hal. Bahwa Indonesia tidak hanya ibukota dan kota-kota besar lainnya. Kemudahan yang kami nikmati di ibukota tidak bisa dinikmati oleh masyarakat disini. Bagaimana mereka bisa bertahan dengan kondisi seadanya, penuh keterbatasaan. Ilmu yang sangat seadanya yang mereka jadikan bekal untuk menjaga kesehatan mereka. Belum lagi kondisi fisik desa yang kurang memadai, jalanan tanpa aspal dan berlumpur ketika turun hujan, tidak ada rumah sakit, keterbatasan tenaga kesehatan, dan sebagainya. Tayangan-tayangan tentang daerah-daerah terpencil bukanlah fiktif belaka, melainkan realita yang juga harus diperhatikan oleh kita. Mereka membutuhkan kita, orang-orang yang katanya berpendidikan tinggi, belajar banyak hal. Mereka membutuhkan kita membagi ilmu kita supaya mereka juga dapat membangun daerahnya, agar mereka juga dapat memiliki kemudahan seperti yang kita rasakan di kota. Semoga tulisan inipun dapat menjadi sarana penyalur harapan-harapan mereka.